Selasa, 10 Januari 2012

Mensikapi Perbedaan dalam Fiqih

Perbedanaan dalam alam pikir manusia yang merupakan sunnatullah haruslah disikapi dengan adil. Adil adalah menempatkannya pada koridor syariah, bukan rasio semata atau hawa nafsu.  Adanya perbedaan, bukannya menjadi dalil untuk membiarkan perbedaan itu berjalan secara liar dalam kehidupan manusia.
Dalam Islam, terdapat otoritas yang mengatur persoalan keagamaan. Islam bukan seperti aliran postmodern yang kata Francois Lyotard anti-otoritas, tidak mengenal benar dan salah atau menurut Ernest Gellner curiga kepada kebenaran ilahiyyah.
Oleh sebab itu,  ia perlu dikelola dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti ushul fikih, akidah dan tarikh. Karena, konsep ilmu dalam Islam itu bersifat tauhidi tidak dikotomis. Tauhidi maksudnya, satu konsep ilmu harus berjalinan erat dengan ilmu lain tidak boleh dipisah secara dikotomik, karena semuanya ada dalam satu jaringan konsep (networking concept).
Perbedaan dalam perkara agama memang tidak tunggal, tapi perbedaan itu sendiri beragam jenisnya. Ada yang bisa ditolelir ada pula yang tidak bisa dikompromikan. Prinsip inilah yang telah dijalankan oleh para ulama terdahulu.
Pada kenyataannya, sejak zaman Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in, perbedaan itu telah ada. Perdebatan di antara sahabat pun kerap terjadi. Namun hal tidak memunculkan cacian ataupun tidak sampai terjadi pembiaran terhadap merebaknya kesesatan apalagi sampai penyuburan penyimpangan agama. Sebab masing-masing disikapi dengan adil.
Dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan  furuiyyah, para ulama dan imam mujtahid tidak pernah menyikapinya dengan ta’ashub berlebihan jika terjadi perbedaan. Tidak ada tadlil (penyesatan), takfirtafsiq (menghukumi fasik). Dalam berdakwah, mereka tidak pula sombong atau memaksakan diri agar pendapatnya wajib diikuti semua umat. (pengkafiran) dan
Adab itu pernah dicontohkan oleh Imam Malik. Dikisahkan bahwa Harun al-Rasyid menyarankan agar Imam Malik mempopulerkan kitabnya, al-Muwatta’, dengan cara digantungkan di Ka’bah. Harun al-Rasyid melihat keilmuan Imam Malik tiada yang menandingi pada waktu itu, sehingga dengan cara itu sang Khalifah ingin madzhab Imam Malik diikuti semua penduduk negeri.
Akan tetapi, Imam Malik secara diplomatis menjawab: ”Jangan Tuan lakukan itu. Sebab sahabat Rasulullah SAW saja sudah berselisih dalam masalah furu’. Lagi pula, umat Islam sudah tersebar di berbagai negeri, sedang sunnah sudah sampai pada mereka, dan mereka juga punya Imam yang diikuti. Harun al-Rasyid pun berkomentar:”Semoga Allah SWT memberi taufiq kepadmu, wahai Abi Abdillah” (diriwayat oleh al-Suyuthi dalam al-Inshaf fi Asbabi al-Ikhtilaf).
Beda hasil ijtihad di kalangan sahabat juga tidak memicu saling penyesatan dan pengkafiran. Contoh tentang hukum berdiri ketika ada jenazah lewat. Sebagian sahabat memandangnya hukum itu untuk menghormati malaikat, bukan jenazah. Sehingga ini berlaku untuk jenazah yang muslim maupun kafir. Sahabat lainnya berpandangan bahwa hal itu dikarenakan kengerian kematian. Sebagaian lagi menilai hukum itu berlaku khusus untuk jenazah kafir dengan alasan Rasulullah SAW pernah beridiri ketika dilewati jenazah Yahudi karena takut jenazah tersebut melebihi kepalanya. Semua hukum ini berjalan di kalangan sahabat dan tabi’in. Tiada seorang pun saling menyesatkan. Karena semua berdasar dari riwayat yang dipercaya.
Kompromi dan saling menerima pendapat seperti tersebut tidak terjadi jika perbedaannya itu menyangkut persoalan yang prinsip dalam akidah. Sebab, dalil-dalil yang jelas, dan pasti (qath’iy) dalam akidah tidak pernah berubah. Ajaran bahwa Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW tidak pernah berubah. Jumlah shalat wajib juga tidak akan dikurangi atau ditambahi. Barang siapa yang mengubah, maka tidak boleh dibiarkan karena menyesatkan. Orang-orang yang mengaku Nabi SAW seperti Musailamah al-Kadzdzab, Thulaihah al-Asadi, Sajah binti Al-Harits at-Tamimiya, dan lain-lain tidak pernah diakui ajarannya oleh para sahabat sebagai ijtihad, tapi penyesatan.
Ketika Imam Syafi’i ditanya tentang aliran Syi’ah, yang secara prinsip akidah menurut beliau berbeda, beliau mengkritiknya dengan sangat keras, dan berkata: “Kelompok ini adalah golongan terjelek.” (baca al-Manaqib jilid I).
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa ada aturannya dalam mengelola perbedaan. Para ulama memberi nama Fiqhul Khilaf (Fikih Perbedaan). Biasanya Fiqhul Khilaf juga diikuti dengan kajian Fiqhul I’tilaf (Fikih Persatuan) untuk menjelaskan mekanisme, dan konsep-konsep yang tepat dalam menentukan sikap, hal-hal apa saja yang bisa masuk toleransi dan prinsip-prinsip apa saja yang tidak bisa dikompromikan. Oleh sebab itu, memahami apa itu konsep ikhltilaf mutlak dibutuhkan.
Secara umum ikhtilaf itu dibagi menjadi dua yaitu; Ikhtilafu al-Tanawwu’ (perbedaan fariatif) dan Ikhtilafu al-Tadlad (perbedaan kontradiktif). Ikhtilaf Tanawwu’ adalah jika perbedaan itu tidak saling kontradiktif antar satu dengan yang lainnya. Masing-masing pendapat itu tidak sama, karena pendapatnya merupakan ragam dari pendapat satunya. Hampir semua perkara ijtihadi masuk dalam ikhtilaf ini.
Ulama’ lain menjelaskan ikhtilaf tanawwu’ terjadi bila masing-masing dari dua pendapat mempunyai kesamaan makna namun redaksinya berbeda, sebagaimana banyak orang (Ulama) yang kadang berselisih dalam membahasakan ketentuan hukum-hukum had, shighah-shighah (bentuk-bentuk ) dalil, istilah tentang nama-nama sesuatu, pembagian-pembagian hukum dan lain-lain. Selanjutnya kebodohan atau kezhalimanlah yang akhirnya membawa pada sikap memuji terhadap sakah satu dari dua pendapat tadi dan mencela yang lain.
Di antara contoh ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan dalam adzan jum’at, bacaan do’a iftitah, tasyahhud, dan bacaan basmalah dalam fatihah yang kesemuanya disyari’atkan. Dalam soal ijtahdi ini, seperti ditegaskan oleh Syeikh Sholah al-Showiy, tidak diperkenankan saling berselisih (tanazu’) (al-Tsawabit wa al-Mutaghayyirat, 35). Lebih-bebih sampai memicu tadlil (saling menyesatkan) dan takfir (mengkafirkan).
Adab Berbeda Pendapat
Terjadinya perbedaan ini, terutama disebabkan dalil yang ada bersifat dzanni, atau bahkan belum ada teks yang jelas. Bisa juga disebabkan, dalil yang ada bersifat qat’i, namun kalimat di dalamnya mengandung makna beragam. Sedangkan tingkat kecerdasan dan pengetahuan para imam mujtahid tidak sama, sehingga hal ini menimbulkan perbedaan dalam menghasilkan hukum (istinbat al-ahkam).
Ini terjadi baik dalam masalah aqaid atau amaliah (Mu’adz bin Muhammad al-Bayanuni, al-Ta’addudiyyah al-Da’wiyyah, 36). Tapi dari masalah yang pokok (ushul) itu juga bisa berkembang ke wilayah yang furu’, meski tema kajiannya masih di bidang aqaid.
Misalnya tentang konsep Nabi. Meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, tidak ada nabi setelahnya. Ini adalah prinsip dasar, tidak ada celah untuk berijtihad.
Namun,  apakah beliau ketika Isra’- mi’raj melihat Allah dengan mata kepala sendiri atau apakah beliau dengan ruh dan jasadnya ke sana, adalah persoalan yang menjadi perdebatan para ulama’, dimana hal ini termasuk perkara ijtihadi, bukan ushul.
Hal-hal yang perlu diketahui dalam adab Ikhtilaf dalam persoalan ijtihad adalah; dilarang menghukumi kafir atau sesat pendapat lain di luar jama’atul muslimin, jika berdebat, maka perdebatan itu haruslah atas dasar penjagaan terhadap persatuan Islam dan kasih-sayang (uluffah).
Oleh sebab itu, dalam konteks ini kita wajib mengetahui perkara-perkara mana saja yang masuk wilayah mutaghayyirat. Kesalahan fatal terjadi ketika perkara mutaghayyirat dipaksakan masuk hukum perkara tsawabit (hal-hal yang tetap dalam agama) atau sebaliknya. Inilah yang dinamakan dzalim, tidak adil.
Jika pertengkaran antar dua kelompok Islam terjadi dalam ikhtilaf macam ini maka jadilah ikhtilaf itu tercela (madzmum), sebagaimana yang telah jelas pada penjelasan yang telah lewat dan pada hadits Abdullah bin Mas’ud seputar ikhtilaf dalam qira’ah (bacaan Al-Qur’an). Rasulullah SAW bersabda: “Artinya : Kalian berdua benar, jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa”.
Jika satu golongan menilai salah dalam Ikhtilaf Tanawwu’ atau dalam persoalan yang mutaghayyirat, maka terminologi yang tepat adalah Khata’ bukan dlalal atau batil, dan jika kita membenarkan, kita memakai istilah shawab.
Imam al-Jurjani menjelaskan perbedaan penggunaan term tersebut. Terminologi al-Shawab dan al-Khata’ digunakan pada masalah ijtihad, sedangkan al-Haq dan al-Batil untuk menilai pada persoalan yang dalilnya qat’i atau tsawabit (al-Ta’rifat entri al-shawab, 135).
Jadi seorang Syafi’iyyah, misalhnya harus menggunakan term khata’ jika menemui pendapat imam lainnya yang berbeda dengan madzhab Syafi’. Tidak boleh dengan kata Batil, sebab term ini berkonsekuensi bahwa mereka sesat keluar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Diriwayatkan oleh Imam al-Jurjani bahwa di kalangan fuqaha’ (para ahli fikih) mereka tidak pernah mentahdzir madzhab lainnya dengan takfir atau tadlil. Jika mereka ditanya tentang madzhabnya dan madzhab lain yang berbeda dengannya dalam masalah furu’, mereka menjawab bahwa madzhab kami benar (shawab), dan mungkin bisa salah. Dan madzhab lanya salah (khata’) dan mungkin bisa benar (al-shawab). Biasanya pernyataan ini beredar di antara kalangan Imam mujtahid sendiri. Dan memang asalnya ditujukan kepada para imamnya.
Sedangkan Ikhtilaf Tadlad adalah dua pendapat yang saling kontradiktif, terjadi silang pendapat antara satu dengan yang lainnya bertolak belakang. Ada kalanya saling menghukumi dengan terminologi khata’ atau dengan kata batil, dan ikhtilaf ini juga biasanya berciri salah satu menghukumi halal dan satunya lagi menghukumi haram (Fiqhul Khilaf Baina al-Muslimin, 19). Jadi, dalam ikhtilaf jenis ini ada yang tercela dan ada yang diperbolehkan.
Meski kebanyakan terjadi dalam masalah dalil-dali qat’i yang disebut ikhtilaf madzmum (tercela/dilarang) namun ada juga yang terjadi dalam masalah ijtihadi yang disebut ikhtilaf ghair madzmum (tidak tercela). Misalnya silang pendapat yang diperbolehkan adalah mengenai status Luqman al-Hakim, apakah Luqman al-Hakim yang namanya dipakai sebagai nama surat di Quran dan disebut-sebut dalam ayat di dalamnya termasuk orang shalih ataukah dia seorang nabi?
Jawabnya, para ulama masih berbeda pandangan dalam ijtihad mereka, Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa  Luqman adalah nabi utusan Allah. Namun sebagian lainnya menolak kenabian kedua tokoh yang kisahnya disebutkan dalam Qura’n. Karena tidak ada nash yang qat’i yang menjelaskan hal itu.
Kebanyakan ikhtilaf ini biasanya terjadi dalam masalah-masalah akidah, hanya sebagaian kecil terjadi dalam persoalan ijtihad. Misalnya, perbedaan antara agama satu dengan agama yang lain. Antara firqah satu dengan firqah lainnya. Antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan Syi’ah, Khawarij, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, pendapat bahwa semua agama adalah sama benar, itu bukan ijtihad, dan  bukan perkara furu’, akan tetapi sudah ditetapkan oleh dalil yang jelas bahwa hanya Islam agama yang benar. Keyakinan sebagaian kelompok yang meyakini bahwa agama Yahudi dan Nasrani adalah agama keselamatan dan tidak mengkafirkan dua agama tersebut tidaklah bisa disebut ijtihad. Pendapat mayoritas umat Islam dengan pendapat seperti ini masuk kategori ikhtilaf tadlad al-madzmum.
Dalam wilayah ini terminologi  yang tepat digunakan untuk menghukumi adalah haq dan batil atau dlalal. Makna haq itu adalah sesuatu yang tetap, tidak ada keraguan. Oleh sebab itulah para ulama menggunakannya untuk kebenaran-kebenaran yang sifatnya qat’i. Istilah ini digunakan untuk mengukumi persoalan-persoalan akidah, agama-agama, firqah dan lawannya adalah term batil (Lisan al-‘Arab, Jilid I, 535).
Jadi ikhtilaf yang tercela adalah beda pendapat dari hasil pemikiran yang keliru menyalahi dalil qat’i, ijma’ sahabat dan perkara-perkara yang tetap yang popular di kalangan ulama’ mujtahid. Artinya perbedaannya bukan berlandaskan pada kebenaran. Perbedaan, meski perbedaan itu dalam masalah furu’iyyah tetapi atas dasar permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya, juga merupakan tindakan yang menyalahi tradisi ulama’ salaf, maka ikhtilaf itu menjadi tercela. Ikhtilaf dalam bentuk yang tercela adalah sebagaimana ikhtilaf yang muncul dari faham-faham tertentu yang menyesatkan.
Hal yang paling penting saat ini bukan memperdebatkan persoalan furu’iyyah, hingga sampai saling menyesatkan, satu sama lain menghujat penuh nafsu. Akan tetapi hendaknya umat Islam memahami tantangan terbesar yang dihadapi. Tantangan itu adalah kerusakan pemikiran yang menyebabkan penyimpangan akidah. Seperti tantanganan sekularisme, liberalisasi pendidikan Islam, pluralism dan aliran-aliran sesat lainnya. Hendaknya kita saling bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati. Untuk membangun sebuah peradaban Islam yang bermartabat dan disegani seluruh bangsa. (Disalin dari: al-hikmah.ac.id)