Perbedanaan dalam alam pikir manusia yang merupakan sunnatullah
haruslah disikapi dengan adil. Adil adalah menempatkannya pada koridor
syariah, bukan rasio semata atau hawa nafsu. Adanya perbedaan,
bukannya menjadi dalil untuk membiarkan perbedaan itu berjalan secara
liar dalam kehidupan manusia.
Dalam Islam, terdapat otoritas yang mengatur persoalan keagamaan.
Islam bukan seperti aliran postmodern yang kata Francois Lyotard
anti-otoritas, tidak mengenal benar dan salah atau menurut Ernest
Gellner curiga kepada kebenaran ilahiyyah.
Oleh sebab itu, ia perlu dikelola dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti ushul fikih, akidah dan tarikh. Karena,
konsep ilmu dalam Islam itu bersifat tauhidi tidak dikotomis. Tauhidi
maksudnya, satu konsep ilmu harus berjalinan erat dengan ilmu lain
tidak boleh dipisah secara dikotomik, karena semuanya ada dalam satu
jaringan konsep (networking concept).
Perbedaan dalam perkara agama memang tidak tunggal, tapi perbedaan
itu sendiri beragam jenisnya. Ada yang bisa ditolelir ada pula yang
tidak bisa dikompromikan. Prinsip inilah yang telah dijalankan oleh
para ulama terdahulu.
Pada kenyataannya, sejak zaman Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan tabiut
tabi’in, perbedaan itu telah ada. Perdebatan di antara sahabat pun
kerap terjadi. Namun hal tidak memunculkan cacian ataupun tidak sampai
terjadi pembiaran terhadap merebaknya kesesatan apalagi sampai
penyuburan penyimpangan agama. Sebab masing-masing disikapi dengan adil.
Dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan furuiyyah, para ulama dan imam mujtahid tidak pernah menyikapinya dengan ta’ashub berlebihan jika terjadi perbedaan. Tidak ada tadlil (penyesatan), takfirtafsiq (menghukumi fasik). Dalam berdakwah, mereka tidak pula sombong atau memaksakan diri agar pendapatnya wajib diikuti semua umat. (pengkafiran) dan
Adab itu pernah dicontohkan oleh Imam Malik. Dikisahkan bahwa Harun
al-Rasyid menyarankan agar Imam Malik mempopulerkan kitabnya,
al-Muwatta’, dengan cara digantungkan di Ka’bah. Harun al-Rasyid
melihat keilmuan Imam Malik tiada yang menandingi pada waktu itu,
sehingga dengan cara itu sang Khalifah ingin madzhab Imam Malik diikuti
semua penduduk negeri.
Akan tetapi, Imam Malik secara diplomatis menjawab: ”Jangan Tuan
lakukan itu. Sebab sahabat Rasulullah SAW saja sudah berselisih dalam
masalah furu’. Lagi pula, umat Islam sudah tersebar di
berbagai negeri, sedang sunnah sudah sampai pada mereka, dan mereka
juga punya Imam yang diikuti. Harun al-Rasyid pun berkomentar:”Semoga
Allah SWT memberi taufiq kepadmu, wahai Abi Abdillah” (diriwayat oleh
al-Suyuthi dalam al-Inshaf fi Asbabi al-Ikhtilaf).
Beda hasil ijtihad di kalangan sahabat juga tidak memicu
saling penyesatan dan pengkafiran. Contoh tentang hukum berdiri ketika
ada jenazah lewat. Sebagian sahabat memandangnya hukum itu untuk
menghormati malaikat, bukan jenazah. Sehingga ini berlaku untuk jenazah
yang muslim maupun kafir. Sahabat lainnya berpandangan bahwa hal itu
dikarenakan kengerian kematian. Sebagaian lagi menilai hukum itu
berlaku khusus untuk jenazah kafir dengan alasan Rasulullah SAW pernah
beridiri ketika dilewati jenazah Yahudi karena takut jenazah tersebut
melebihi kepalanya. Semua hukum ini berjalan di kalangan sahabat dan
tabi’in. Tiada seorang pun saling menyesatkan. Karena semua berdasar
dari riwayat yang dipercaya.
Kompromi dan saling menerima pendapat seperti tersebut tidak terjadi
jika perbedaannya itu menyangkut persoalan yang prinsip dalam akidah.
Sebab, dalil-dalil yang jelas, dan pasti (qath’iy) dalam
akidah tidak pernah berubah. Ajaran bahwa Nabi terakhir adalah nabi
Muhammad SAW tidak pernah berubah. Jumlah shalat wajib juga tidak akan
dikurangi atau ditambahi. Barang siapa yang mengubah, maka tidak boleh
dibiarkan karena menyesatkan. Orang-orang yang mengaku Nabi SAW seperti
Musailamah al-Kadzdzab, Thulaihah al-Asadi, Sajah binti Al-Harits
at-Tamimiya, dan lain-lain tidak pernah diakui ajarannya oleh para
sahabat sebagai ijtihad, tapi penyesatan.
Ketika Imam Syafi’i ditanya tentang aliran Syi’ah, yang secara
prinsip akidah menurut beliau berbeda, beliau mengkritiknya dengan
sangat keras, dan berkata: “Kelompok ini adalah golongan terjelek.”
(baca al-Manaqib jilid I).
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa ada aturannya dalam mengelola perbedaan. Para ulama memberi nama Fiqhul Khilaf (Fikih Perbedaan). Biasanya Fiqhul Khilaf juga diikuti dengan kajian Fiqhul I’tilaf (Fikih
Persatuan) untuk menjelaskan mekanisme, dan konsep-konsep yang tepat
dalam menentukan sikap, hal-hal apa saja yang bisa masuk toleransi dan
prinsip-prinsip apa saja yang tidak bisa dikompromikan. Oleh sebab itu,
memahami apa itu konsep ikhltilaf mutlak dibutuhkan.
Secara umum ikhtilaf itu dibagi menjadi dua yaitu; Ikhtilafu al-Tanawwu’ (perbedaan fariatif) dan Ikhtilafu al-Tadlad (perbedaan kontradiktif). Ikhtilaf Tanawwu’ adalah
jika perbedaan itu tidak saling kontradiktif antar satu dengan yang
lainnya. Masing-masing pendapat itu tidak sama, karena pendapatnya
merupakan ragam dari pendapat satunya. Hampir semua perkara ijtihadi masuk dalam ikhtilaf ini.
Ulama’ lain menjelaskan ikhtilaf tanawwu’ terjadi bila
masing-masing dari dua pendapat mempunyai kesamaan makna namun
redaksinya berbeda, sebagaimana banyak orang (Ulama) yang kadang
berselisih dalam membahasakan ketentuan hukum-hukum had, shighah-shighah (bentuk-bentuk
) dalil, istilah tentang nama-nama sesuatu, pembagian-pembagian hukum
dan lain-lain. Selanjutnya kebodohan atau kezhalimanlah yang akhirnya
membawa pada sikap memuji terhadap sakah satu dari dua pendapat tadi
dan mencela yang lain.
Di antara contoh ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan dalam adzan jum’at, bacaan do’a iftitah, tasyahhud, dan bacaan basmalah dalam fatihah yang kesemuanya disyari’atkan. Dalam soal ijtahdi ini, seperti ditegaskan oleh Syeikh Sholah al-Showiy, tidak diperkenankan saling berselisih (tanazu’) (al-Tsawabit wa al-Mutaghayyirat, 35). Lebih-bebih sampai memicu tadlil (saling menyesatkan) dan takfir (mengkafirkan).
Adab Berbeda Pendapat
Terjadinya perbedaan ini, terutama disebabkan dalil yang ada
bersifat dzanni, atau bahkan belum ada teks yang jelas. Bisa juga
disebabkan, dalil yang ada bersifat qat’i, namun kalimat di dalamnya
mengandung makna beragam. Sedangkan tingkat kecerdasan dan pengetahuan
para imam mujtahid tidak sama, sehingga hal ini menimbulkan perbedaan
dalam menghasilkan hukum (istinbat al-ahkam).
Ini terjadi baik dalam masalah aqaid atau amaliah (Mu’adz bin Muhammad al-Bayanuni, al-Ta’addudiyyah al-Da’wiyyah, 36). Tapi dari masalah yang pokok (ushul) itu juga bisa berkembang ke wilayah yang furu’, meski tema kajiannya masih di bidang aqaid.
Misalnya tentang konsep Nabi. Meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah nabi terakhir, tidak ada nabi setelahnya. Ini adalah prinsip
dasar, tidak ada celah untuk berijtihad.
Namun, apakah beliau ketika Isra’- mi’raj melihat Allah dengan mata
kepala sendiri atau apakah beliau dengan ruh dan jasadnya ke sana,
adalah persoalan yang menjadi perdebatan para ulama’, dimana hal ini
termasuk perkara ijtihadi, bukan ushul.
Hal-hal yang perlu diketahui dalam adab Ikhtilaf dalam persoalan
ijtihad adalah; dilarang menghukumi kafir atau sesat pendapat lain di
luar jama’atul muslimin, jika berdebat, maka perdebatan itu haruslah
atas dasar penjagaan terhadap persatuan Islam dan kasih-sayang (uluffah).
Oleh sebab itu, dalam konteks ini kita wajib mengetahui
perkara-perkara mana saja yang masuk wilayah mutaghayyirat. Kesalahan
fatal terjadi ketika perkara mutaghayyirat dipaksakan masuk hukum
perkara tsawabit (hal-hal yang tetap dalam agama) atau sebaliknya.
Inilah yang dinamakan dzalim, tidak adil.
Jika pertengkaran antar dua kelompok Islam terjadi dalam ikhtilaf
macam ini maka jadilah ikhtilaf itu tercela (madzmum), sebagaimana yang
telah jelas pada penjelasan yang telah lewat dan pada hadits Abdullah
bin Mas’ud seputar ikhtilaf dalam qira’ah (bacaan Al-Qur’an).
Rasulullah SAW bersabda: “Artinya : Kalian berdua benar, jangan
berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka
binasa”.
Jika satu golongan menilai salah dalam Ikhtilaf Tanawwu’ atau dalam persoalan yang mutaghayyirat, maka terminologi yang tepat adalah Khata’ bukan dlalal atau batil, dan jika kita membenarkan, kita memakai istilah shawab.
Imam al-Jurjani menjelaskan perbedaan penggunaan term tersebut. Terminologi al-Shawab dan al-Khata’ digunakan pada masalah ijtihad, sedangkan al-Haq dan al-Batil untuk menilai pada persoalan yang dalilnya qat’i atau tsawabit (al-Ta’rifat entri al-shawab, 135).
Jadi seorang Syafi’iyyah, misalhnya harus menggunakan term khata’ jika
menemui pendapat imam lainnya yang berbeda dengan madzhab Syafi’. Tidak
boleh dengan kata Batil, sebab term ini berkonsekuensi bahwa mereka
sesat keluar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Diriwayatkan oleh Imam al-Jurjani bahwa di kalangan fuqaha’
(para ahli fikih) mereka tidak pernah mentahdzir madzhab lainnya dengan
takfir atau tadlil. Jika mereka ditanya tentang madzhabnya dan madzhab
lain yang berbeda dengannya dalam masalah furu’, mereka menjawab bahwa
madzhab kami benar (shawab), dan mungkin bisa salah. Dan madzhab lanya
salah (khata’) dan mungkin bisa benar (al-shawab). Biasanya pernyataan
ini beredar di antara kalangan Imam mujtahid sendiri. Dan memang
asalnya ditujukan kepada para imamnya.
Sedangkan Ikhtilaf Tadlad adalah dua pendapat yang saling
kontradiktif, terjadi silang pendapat antara satu dengan yang lainnya
bertolak belakang. Ada kalanya saling menghukumi dengan terminologi
khata’ atau dengan kata batil, dan ikhtilaf ini juga biasanya berciri
salah satu menghukumi halal dan satunya lagi menghukumi haram (Fiqhul
Khilaf Baina al-Muslimin, 19). Jadi, dalam ikhtilaf jenis ini ada yang
tercela dan ada yang diperbolehkan.
Meski kebanyakan terjadi dalam masalah dalil-dali qat’i yang disebut
ikhtilaf madzmum (tercela/dilarang) namun ada juga yang terjadi dalam
masalah ijtihadi yang disebut ikhtilaf ghair madzmum (tidak tercela).
Misalnya silang pendapat yang diperbolehkan adalah mengenai status
Luqman al-Hakim, apakah Luqman al-Hakim yang namanya dipakai sebagai
nama surat di Quran dan disebut-sebut dalam ayat di dalamnya termasuk
orang shalih ataukah dia seorang nabi?
Jawabnya, para ulama masih berbeda pandangan dalam ijtihad mereka,
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa Luqman adalah nabi utusan
Allah. Namun sebagian lainnya menolak kenabian kedua tokoh yang
kisahnya disebutkan dalam Qura’n. Karena tidak ada nash yang qat’i yang
menjelaskan hal itu.
Kebanyakan ikhtilaf ini biasanya terjadi dalam
masalah-masalah akidah, hanya sebagaian kecil terjadi dalam persoalan
ijtihad. Misalnya, perbedaan antara agama satu dengan agama yang lain.
Antara firqah satu dengan firqah lainnya. Antara Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dengan Syi’ah, Khawarij, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, pendapat bahwa semua agama adalah sama benar, itu
bukan ijtihad, dan bukan perkara furu’, akan tetapi sudah ditetapkan
oleh dalil yang jelas bahwa hanya Islam agama yang benar. Keyakinan
sebagaian kelompok yang meyakini bahwa agama Yahudi dan Nasrani adalah
agama keselamatan dan tidak mengkafirkan dua agama tersebut tidaklah
bisa disebut ijtihad. Pendapat mayoritas umat Islam dengan pendapat
seperti ini masuk kategori ikhtilaf tadlad al-madzmum.
Dalam wilayah ini terminologi yang tepat digunakan untuk menghukumi
adalah haq dan batil atau dlalal. Makna haq itu adalah sesuatu yang
tetap, tidak ada keraguan. Oleh sebab itulah para ulama menggunakannya
untuk kebenaran-kebenaran yang sifatnya qat’i. Istilah ini digunakan
untuk mengukumi persoalan-persoalan akidah, agama-agama, firqah dan
lawannya adalah term batil (Lisan al-‘Arab, Jilid I, 535).
Jadi ikhtilaf yang tercela adalah beda pendapat dari hasil
pemikiran yang keliru menyalahi dalil qat’i, ijma’ sahabat dan
perkara-perkara yang tetap yang popular di kalangan ulama’ mujtahid.
Artinya perbedaannya bukan berlandaskan pada kebenaran. Perbedaan,
meski perbedaan itu dalam masalah furu’iyyah tetapi atas
dasar permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya, juga
merupakan tindakan yang menyalahi tradisi ulama’ salaf, maka ikhtilaf itu menjadi tercela. Ikhtilaf dalam bentuk yang tercela adalah sebagaimana ikhtilaf yang muncul dari faham-faham tertentu yang menyesatkan.
Hal yang paling penting saat ini bukan memperdebatkan persoalan furu’iyyah, hingga
sampai saling menyesatkan, satu sama lain menghujat penuh nafsu. Akan
tetapi hendaknya umat Islam memahami tantangan terbesar yang dihadapi.
Tantangan itu adalah kerusakan pemikiran yang menyebabkan penyimpangan
akidah. Seperti tantanganan sekularisme, liberalisasi pendidikan Islam,
pluralism dan aliran-aliran sesat lainnya. Hendaknya kita saling
bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati. Untuk
membangun sebuah peradaban Islam yang bermartabat dan disegani seluruh
bangsa. (Disalin dari: al-hikmah.ac.id)